~CERPEN : Cemburu Yang Berseteru~

Sore menjelang malam para perawat klinik nampak segera berkemas-kemas untuk mengakhiri pekerjaannya, terkecuali yang bertugas malam meski klinik itu cukup besar namun hanya pasien tertentu yang dirawat inap diklinik tersebut. Malampun semakin menjelma kesunyian mulai terasa disekitar klinik tersebut. Seorang wanita berambut panjang itu bergegas menaiki tangga klinik. Dengan penuh harap tangannya memegang satu kantong plastik kecil berisi sejumlah obat yang baru saja ditebus dari apotek di sebelah klinik ini. Sesekali dia mengembuskan napas. Menghalau khawatir yang merambat.

Dia tahu, ini memang penyakit lama yang berulang kali kambuh. Dia tahu pasti penyebabnya. Pasti lelaki itu bersentuhan dengan beberapa jenis makanan yang seharusnya dihindari untuk penderita amandel sepertinya. Namun ternyata, lelaki itu sering kali tidak mengindahkan nasihatnya untuk memulai pola hidup sehat.

Wanita berambut panjang itu membuka sedikit pintu kamar nomor 02. Ada seraut wajah khawatir yang bisa ditangkapnya di sana. Wajah yang menunggu penuh harap. Wajah serupa segenggam kekhawatiran yang sama saat ini menyelimuti hatinya. Dia merapatkan kembali pintu kamar. Urung masuk. Ada sebuah keraguan yang mencegahnya. Dia meraba hati, mencoba menyesapi sebuah rasa yang tiba-tiba menyelinap.

Tangannya menggenggam kembali satu kantong kecil plastik obat yang barusan ditebus. Dia sebenarnya ingin sekali masuk ke kamar itu. Menatap wajah lelaki itu dan memenuhi semua permintaannya. Saat sakit, lelaki itu pasti menjadi seseorang yang sangat memerlukan perhatian. Dia punya segenap perhatian itu. Tanpa batas, tanpa lelah. Namun, urung. Dia tidak ingin menatap wajah yang juga sangat mengkhawatirkan kondisi lelaki itu. Wajah wanita itu. Wanita bermata sendu yang telah mampu membuat segalanya teralihkan.

Pelan, dia memberanikan kembali memutar gagang pintu. Antara ragu, dia mencoba masuk. Bagaimanapun dia sangat mengkhawatirkan keadaan lelaki itu lebih dari apa pun. Bau obat-obatan segera menyeruak, menyergap indra penciumannya. Sesaat, dia menatap sebuah adegan. Wanita muda itu baru saja menyuapkan sisa obat terakhir yang masih ada, sebelum dia menebus obat baru. Entah kenapa, perih begitu berani menyusup, menggarami hatinya.

Mereka rupanya tidak menyadari kehadiran wanita berambut panjang itu. Entah karena memang tengah berkonsentrasi meminumkan obat atau larut dalam romantisisme yang mereka ciptakan sendiri.

“Sebaiknya malam ini kamu tidak usah menunggu di sini. Pulang saja. Orang rumah pasti mengkhawatirkanmu.”

“Tidak apa-apa,” sahut wanita muda bermata sendu. “Saya sudah memberi tahu orang rumah bahwa malam ini akan menginap di klinik dan ikut berjaga di sini.”

“Sudahlah pulang saja. Aku bisa saja sendirian menjaganya. Lagi pula, ini sudah terlalu malam. Tidak baik dalam pandangan orang kalau nanti kamu ikut menginap di sini. Jhaey nanti akan mengantarkanmu pulang. Tidak aman kalau jam seperti ini kamu pulang sendirian.”

Wanita berambut panjang itu memaksa tatapan mata segaris wanita lain di ruang itu agar segera menjauh. Menatap wajahnya lebih lama di sini, seperti memantik setiap api cemburu yang siap menyergap membakar hati wanita berambut panjang itu. Dia pun menyebut sebuah nama, menantu laki-lakinya, untuk mengantar wanita muda bermata sendu itu pulang.

Wanita muda itu tidak menjawab lagi. Tidak ada yang memperhatikan perubahan air mukanya karena wanita berambut panjang itu benar-benar tidak ingin menatapnya. Wanita bermata sendu itu mengemasi barangnya dan bergegas menuju Jhaey yang telah menunggu di depan klinik. Wanita berambut panjang itu, mengembuskan napas, lega. Setidaknya malam ini wanita bermata sendu itu tidak merebut perhatian lelakinya. Dia tidak harus berbagi malam ini.

Sosok lelaki itu telah tertidur pulas.

Wanita matang berambut panjang itu beringsut melihat sosok lelakinya bergerak. Dia melirik jam dinding kamar klinik ini. Pukul dua dini hari.

“Belum tidur?” tanyanya dengan perhatian yang khas. Mengingatkan wanita itu pada seseorang, bernama Agus.

Wanita itu menggeleng.

“Hanya ingin menunggumu. Takutnya saat tertidur kamu memerlukan sesuatu dan kalau aku sudah pulas tidak mendengar suaramu.”

“Manda, kemana?”

Wanita bermata sendu itu lagi. Mendengar nama itu disebut, sontak hatinya seperti dijalari bara hingga ke urat nadi terkecil. Perih. Lagi-lagi wanita itu, wanita bermata sendu yang menyita hampir semua ruang perhatian lelakinya.

“Pulang.”.... Sahutnya singkat.

“Pulang? Kenapa tidak pamit?”

“Sehabis meminum obat, kamu tadi ketiduran... Jhaey mengantarnya pulang. Lagi pula, tidak pantas dia menginap di sini.”

“Pulang atas inisiatifnya sendiri?”

“Maksudmu?”

“Tidak ada yang menyuruhnya pulang, bukan?”

“Bagaimana kamu bisa berpikiran seperti itu?”

Lelaki itu mendesah... “Selama ini hanya satu orang yang selalu sinis bersikap dengannya dan tidak menyukai kehadirannya.”

“Dia pulang dan memang tidak sepantasnya berada di sini menunggumu!” Suaranya mulai melengking.

“Manda gadis baik, terlalu banyak upaya sudah dilakukannya untuk bisa diterima, walaupun usaha itu terkadang membuahkan hasil yang mengecewakan. Dia tidak pernah mengeluh.”

“Berhenti membicarakannya. Bertahun-tahun kita bisa hidup sejalan dengan saling berbagi perhatian. Semua berubah hanya karena kehadiran wanita itu!”

Wanita berambut panjang itu keluar. Mencoba menahan aliran hangat yang menggenang di sudut matanya.

“Rambut panjang yang meriap indah, pas dengan wajah serta tubuhmu sesuatu yang menarik dari ciptaan Tuhan. Sehingga ketika kau tersenyum, maka senyummu kelihatan menggoda bagi siapapun yang melihatnya".

Wanita berambut panjang itu memejamkan mata. Betapa dia rindu dengan suara itu. Sekelebat kenangan mencuat tanpa permisi. Bertahun lamanya dia bertarung dengan hidup. Mencoba menaklukkan ketidakramahan banyak mulut dengan pilihan hidupnya.

Tiap malam, Agus, suaminya, selalu saja memuji hal kecil yang teramat dibanggakannya. Rambutnya yang panjang meriap. Semua orang tahu bahwa rambutnya memang panjang, memang membuat kecantikannya bertambah-tambah. Dan hal itu pulalah yang membuat cinta Agus suaminya juga selalu bertambah-tambah. Memandang rambut panjang yang meriap serta senyum yang menggoda.

Namun, tatapan dan suara Agus kemudian dalam jelmaan tahun berubah menjadi kealpaan. Yang ada hanya sunyi. Sunyi yang diteriakkan oleh hatinya. Raganya mungkin boleh saja tetap tersenyum dan dia memang harus tetap tersenyum karena ada tiga bocah kecil yang membutuhkannya. Agus, suaminya, suatu sore yang gerimis kembali ke rumah ini tanpa kata-kata. Hanya ada senyum beku yang kemudian melahirkan histeria seisi rumah. Kecelakaan di tempat kerja.

Sepeninggal Agus, banyak laki-laki yang mencoba mendekatinya, namun selalu dia tepis. Baginya, Agus adalah sosok paling istimewa. Banyak mulut usil yang selalu saja nyinyir dengan statusnya yang menjanda. Namun, semua itu tak lantas membuatnya risau, walau ada sekeping hati yang perih dengan keusilan mulut-mulut itu. Dia tidak butuh laki-laki lain sepeninggal Agus, karena sebenarnya dia telah menemukan lelaki itu. Lelaki jelmaan Agus yang bertahun-tahun kemudian bertumbuh sangat persis dengan Agus. Wajahnya, tutur katanya, perhatiannya, dan juga kesenangannya memandang rambut panjangnya.

Semua kembali sempurna, walau tanpa Agus. Tapi, tidak semenjak wanita itu mulai mencoba memasuki kehidupan mereka. Wanita bermata sendu itu hadir sekitar tiga tahun yang lalu. Mencoba untuk beradaptasi dengan kehidupannya sekeluarga. Awalnya, dia memang tidak terlalu memedulikan selayaknya banyak wanita sebelumnya yang pernah dibawa ke rumah ini untuk dikenalkan kepada mereka. Tak pernah ada yang serius sehingga mereka pun tidak perlu menanggapinya dengan serius.

Namun, ternyata perhitungannya selama ini salah. Perhitungan wanita berambut panjang itu, tepatnya. Dia benar-benar tidak hanya mengenalkan wanita itu, tetapi mereka berniat untuk menuju ke tahap yang lebih serius. Dan keseriusan itu yang kemudian memantik api cemburu dalam hati wanita berambut panjang itu.

Entah mengapa, dia merasa kehilangan banyak perhatian karena wanita bermata sendu itu telah merebut sosok lelaki itu darinya. Lelaki yang selama ini menjadi cinta yang meluap-luap memenuhi hatinya. Lelaki yang tidak pernah alpa menanyakan apakah sudah sarapn atau belum. Dia yang selalu saja menjadi segenap rindu pada semesta doa panjang separuh malamnya. Lelaki yang selalu saja tak pernah letih memberinya kasih sayang dan segenap binar pada matanya. Mata yang sepanjang hidupnya selalu mampu menerbitkan kasih tak berkesudahan. Dia yang..... Wanita berambut panjang itu kembali memejamkan mata, ada segenap perih menggenapi pelupuk matanya.

Dia tahu, wanita itu sebenarnya tidak pernah berniat merebut siapa pun. Kehadiran wanita itu adalah suatu yang alamiah harus terjadi dalam proses hidupnya. Semua memang harusnya terasa wajar. Namun, tidak bisa dipungkiri bahwa segalanya berubah sejak kehadiran wanita itu. Tak ada lagi cinta yang penuh. Tak ada perhatian utuh yang ditujukan untuknya. Segalanya sudah tak lagi sama dan itu semua karena kehadiran wanita itu.

KLINIK terlihat sepi. Hanya satu orang perawat yang terlihat bergegas menuju salah satu ruangan. Klinik yang terlihat besar itu terdiri dari empat puluh ruang dengan fasilitas lumayan mewah.

Wanita berambut panjang itu pelan menyusuri pelataran klinik. Sesekali tangannya mengusap ekor matanya. Perawat yang barusan dilihatnya melempar senyum. Namun, pelupuk matanya agak terkaburkan oleh air mata.

Sesaat dia berhenti. Di ujung pelataran klinik matanya menangkap satu sosok. Seorang wanita muda, tengah menyusut air mata. Wanita itu terpana. Dia kemudian berbalik, berusaha pergi.

“Ibu!”

Sebuah panggilan menghentikan langkahnya. Dia tahu bahwa itu adalah suara wanita bermata sendu itu, di ujung pelataran klinik.

“Ibu!” ulangnya kemudian... “Bukankah rasanya indah kalau Ibu akan mempunyai satu anak wanita lagi? Tidak akan ada yang berubah, kita akan bersama-sama dan meraih kebahagiaan yang sama.”

Wanita berambut panjang itu tertegun. Ada yang mencoba kembali berebutan luruh di sudut matanya. Dia terpejam. Satu persatu adegan berlintasan di pikirannya. Wajah Agus, suaminya. Wajah Khanif, anak laki-laki satu-satunya di antara dua saudara wanitanya yang lain. Tahun demi tahun kebahagiaan melihat Khanif bertumbuh sangat mirip dengan Agus, ayahnya. Khanif memang sangat mirip dengan ayahnya. Tetapi, Khanif bukan Agus. Dia berhak atas kebahagiaannya sendiri.

Wanita berambut panjang itu kemudian berbalik, menatap wanita muda di depannya, di ujung pelataran klinik.

“Kamu tidak jadi pulang? Maksudku di mana, Jhaey?”

“Saya menyuruhnya pulang. Saya mengkhawatirkan kondisi Khanif.”

“Apakah kamu mencintai Khanif?”

Wanita bermata sendu di ujung pelataran klinik, mengangguk pasti.

Wanita berambut panjang itu merentangkan tangannya. Angin bertiup samar-samar, membawa aroma malam yang terus berseteru, mungkin hingga raga diri menua.




~ THE~END ~