Suara keletak rokok yang Jhaey hisap serta lagu Guns Roses mengingatkan Jhaey akan Amanda.. Amanda adalah perempuan yang kehadirannya tidak mencolok. Maksud Jhaey tidak mencolok karena saat berkumpul dengan banyak orang, ia tidak banyak bicara dan tidak juga pendiam. Seolah kehadirannya adalah hal yang wajar.
Dari penampilannya, hal yang paling mencolok adalah bentuk hidungnya yang mungil seperti jambu air. Rambutnya agak bondol diatas pundak dengan poni terbelah, kulitnya berwana putih pucat, sedangkan tubuhnya bisa dibilang kurus. Ia biasa mengenakan baju dengan lengan tanggung berwarna cerah dan celana jeans ketat.
Hal lain yang bisa Jhaey ingat adalah senyumnya Jhaey pernah mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Awalnya Jhaey tak tahu dari mana perumpamaan ia dapatkan. Hingga pada satu waktu setelah Jhaey dan Amanda berpisah, ia mengingat metafora itu Jhaey dapatkan dari lirik lagu Guns Roses, November Rain. Singkatnya, Amanda mungkin bukanlah tipe perempuan yang membuat seseorang jatuh hati pada pandangan pertama.
Minuman kalengan dingin Jhaey tenggak lagi. Cuma ia sendiri di teras minimarket. Beginilah malam yang suntuk ia lewatkan sambil memutar-mutar memori tentang Amanda. Sewaktu kuliah, Amanda dan Jhaey beberapa kali berada di kelas yang sama. Bisa dibilang, ia memiliki hubungan yang agak rumit dengannya. Pertemuan pertama kami adalah saat masa orientasi kampus. Jhaey berpapasan dengannya di lorong sebuah gedung selepas kegiatan orientasi selesai. Kami sama-sama canggung untuk saling menyapa, hingga kami cuma berdiam diri pada beberapa detik. Begitulah, Amanda menjadi seseorang yang mengisi pikiran Jhaey selama masa-masa kuliah, bukan karena penampilannya, tetapi karena momen saat kami pertama kali bertemu.
Kembali kepada Amanda, ia mengambil jurusan yang sama dengan Jhaey. Pada semester awal, Jhaey mengobrol dengannya sebatas keperluan perkuliahan. Jhaey kira Amanda telah melupakan pertemuan pertama kami. Barangkali memang pertemuan itu bukanlah hal yang spesial, hal yang pantas untuk diromantisasikan.
Kedekatan kami bermula pada suatu sore, saat aku mendapatinya sedang membaca buku di sekitar area parkir, di bawah lampu penerang. Sore itu kampus sudah sepi, Jhaey menghampiri Amanda yang sedang menunduk pada bukunya. Amanda menyadari kehadiran Jhaey. Setelah negosiasi misterius, ia mengerti kehendak Jhaey dan mengizinkan untuk duduk di sebelahnya dengan anggukan pelan kepada Jhaey. Singkatnya, diawali oleh kejadian itu, akhirnya kami sering menghabiskan waktu pada hari-hari setelahnya.
Belakangan Amanda mengatakan kepada Jhaey bahwa ia senang ditemani saat ia membaca buku, karena yang Jhaey lakukan hanyalah merokok dan sesekali memutar lagu dari ponsel dengan volume rendah. Bahkan kadang Jhaey hanya merokok sambil mendengar suara keletak dari puntung rokoknya.
Amanda adalah seorang pembaca yang rakus, meskipun di kelas maupun di klub sastra kampus Amanda jarang sekali berbicara. Ia membaca karena ia suka, itulah yang Jhaey simpulkan setelah lebih jauh mengenalnya. Dari Amanda, Jhaey mendapatkan banyak referensi bacaan. Dari banyak bacaannya, Amanda menggemari karya-karya penulis Jepang seperti Akutagawa, Kawabata, Natsume Soseki, dan penulis yang paling disukainya adalah Haruki Murakami. Karena Amanda, Jhaey ikut gandrung dengan karya dari penulis-penulis Jepang. Meskipun Amanda senang membaca buku, ia tidak berminat untuk menjadi seorang penulis, setidaknya itu anggapan Jhaey, sebab ia hampir tidak pernah membaca buku karya dari Amanda.
“Aku enggak suka Beatles, itu lagu Beatles kan?” Satu waktu Amanda berkata sambil menutup bukunya, saat itu ia mendapati Jhaey sedang memutar lagu If I Fell dari ponsel.
“Mereka kayak sekumpulan cowok tengil norak, apalagi dengan kostum-kostum yang tak kalah noraknya.”
Jhaey cuma tertawa ringan mendengar perkataannya. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Amanda. Di sekitaran area parkir ini, Jhaey mengenal Amanda yang banyak berbicara, tidak seperti Amanda di dalam kelas atau di klub sastra.
“Aku tahu banyak tentang Beatles dari karya-karya Murakami,”... Lanjut Amanda. “Terakhir aku baca cerpen With The Beatles, itu dari album mereka kan? Protagonisnya bilang, ia mendengar Beatles cuma sebagai latar, karena waktu itu hampir semua radio memutarnya. Kamu sendiri kenapa suka Beatles?”
Jhaey lupa persisnya untuk menjawab dari pertanyaan Amanda itu. Jhaey mendengar The Beatles karen ia cuma suka mendengarkan musik. Semasa SMA Jhaey pernah membentuk grup band. Di band itu Jhaey berperan sebagai gitaris dan vokalis sekaligus. Kami sering memainkan lagu-lagu The Beatles yang chord-nya mudah. Saat masuk ke jenjang kampus, Jhaey harus meninggalkan mimpi untuk menjadi seorang pemain band. Pada akhirnya, mimpi itu berganti untuk menjadi seorang penulis. Kedua mimpi itu sama kekanakannya. Sebab kini Jhaey menyadari bahwa dirinya hanya akan menjadi seorang blogger dan penulis dadakan.
Kebiasaan duduk di area parkir itu berlangsung barangkali selama beberapa bulan. Amanda menunduk sambil membaca buku, sedang Jhaey mendengar lagu dan bunyi keletak rokoknya, setelahnya kami mengobrol sambil meminum sari buah dingin yang kadang sengaja kubelikan untuknya. Kami berbicara tentang Lennon yang menjadi personel favoritku, Yoko yang dihujat karena dianggap menghancurkan Beatles, Murakami yang menulis tanpa kerangka cerita, dan hal-hal sepele lain seperti gosip yang beredar di kelas dan di klub sastra. Kadang Jhaey juga memberikan cerpennya dan meminta saran kepada Amanda.
Dalam kisaran waktu yang cuma beberapa bulan itu, Jhaey dan Amanda sering menghabiskan waktu berdua, termasuk saat kami berada di kelas. Teman-teman lain mengira kami memiliki hubungan spesial. Jhaey tak memusingkan anggapan mereka, sebab ia menyadari bahwa dirinya semakin menyukainya.
Hingga pada satu malam, Jhaey tak bisa menahan diri untuk menciumnya saat Amanda belum sempat membuka buku di genggamannya. Area parkir kala itu sepi. Jhaey merasa bahwa Amanda tidak menolak ciumannya. Jhaey tidak ingat persis kejadian setelahnya, atau tepatnya ia tidak ingin mengingat kejadian setelahnya. Apa yang Jhaey ingat adalah malam itu dirinya dipenuhi rasa sesal.
Setelah malam itu, pertemuan di area parkir itu berakhir sudah. Amanda seakan berusaha menghindar dari Jhaey, meski kami berada di kelas yang sama. Tinggallah Jhaey dengan rasa bersalah yang menyakitkan. Pada masa pertengahan perkuliahan, Jhaey coba mengalihkan pikirannya dengan banyak membaca buku dan menulis. Hingga satu cerpennya akhirnya menembus satu koran nasional. Begitulah mimpi kekanakannya untuk menjadi seorang penulis pemula. Jhaey akhirnya tidak lagi berusaha untuk mendekati Amanda. Ia memiliki dunianya sendiri, dan Amanda tidak ada di dalamnya.
Pertemuan terakhir Jhaey dengan Amanda berada pada satu malam pada akhir masa kuliah. Jhaey menerima sebuah pesan singkat dari Amanda, ia meminta Jhaey untuk pergi ke area parkir saat itu juga. Di sana, Jhaey mendapati Amanda tanpa buku bacaan seperti dahulu, ia cuma menyediakan dua buah kopi kalengan dingin.
Pada malam itu Amanda mengenakan terusan panjang, tidak seperti biasanya... Amanda tersenyum melihat Jhaey, tapi senyuman itu terasa tidak cocok dengan raut wajahnya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Penyesalan kedua Jhaey adalah karena tidak mengucapkan maaf pada pertemuan itu, barangkali rasa bersalah yang begitu kuat menahannya untuk mengucapkan itu. Saat Jhaey hendak mengambil sebatang rokok dari saku celana, Amanda memeluknya. Jhaey merasakan lelehan air mata yang hangat pada pundaknya. Jhaey tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Selang beberapa menit saat tangisan pertamanya pecah, Amanda menatap Jhaey dengan senyum yang sama, senyum yang tidak cocok dengan raut wajahnya. Saat itu, Jhaey mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Ia tertawa pelan mendengar kalimat pertama yang Jhaey ucapkan... Jhaey tidak ingin memaksanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Amanda mengusap sisa air di sekitaran mata dengan punggung tangan. Akhirnya ia mulai berbicara, tapi Jhaey sama sekali tidak menangkap apa yang dibicarakannya. Awalnya terdengar suara yang serak dan terpatah-patah, tetapi semakin lama suaranya semakin jelas dan lancar. Ia berbicara tentang banyak hal, meski separuh kata-katanya terdengar seperti tanpa arti, dan Amanda tak memberikan Jhaey kesempatan untuk menanggapinya.
Ia sempat memberikan ucapan selamat kepada Jhaey, atas cerpen-cerpennya yang dimuat di koran nasional. Amanda bilang bahwa ia membaca seluruh cerpen yang telah Jhaey terbitkan dan ia menyukainya. Jhaey yakin, ia menyadari bahwa cerpen yang ia tulis itu mirip dengan karya-karya Murakami. Pada satu kesempatan lain, Amanda mengatakan bahwa sebenarnya ia mencintai Jhaey, kalimat itu terdengar pelan tapi Jhaey bisa mendengarnya dengan jelas. Monolognya berhenti saat titik-titik hujan mulai turun.
Jhaey menyetujui untuk segera pergi ke kostnya Amanda sebelum hujan menjadi deras. Baru kali itu Jhaey masuk ke kamar kost Amanda, ia langsung merebah dengan posisi menyamping di atas kasur. Sedang Jhaey merebah di sampingnya. Kami saling bertukar tatap. Amanda kembali berkata kepada Jhaey untuk yang kedua kalinya bahwa ia mencintainya, dan memohon kepada Jhaey agar tidak meninggalkannya. Pada beberapa menit kemudian Jhaey sadar bahwa ia mulai terlelap.
Jhaey bisa mengingat suara dengkurnya yang lembut, kantung matanya yang sembab, dan posisi tidurnya yang meringkuk. Gerimis telah berhenti, dan Jhaey pikir tidak seharusnya ia bermalam di kamarnya. Saat itu Jhaey mencoba menahan keinginan untuk mencium bibirnya lagi, sebab Jhaey masih mengingat rasa bersalah atas ciuman pertamanya dengannya. Akhirnya Jhaey memutuskan untuk menulis sebuah pesan pamit di sebuah kertas. Kertas itu kuselipkan di sebuah buku yang berada di samping kasurnya.
Amanda terbangun dan bertanya ke mana saat mendapatiku membuka pintu. Jhaey menjelaskan bahwa ia harus pamit karena satu-dua alasan. Malam itu, Amanda tidak mencegah Jhaey untuk pulang. Saat Jhaey sedang mengenakan sepatu, ia sempat berkata kepada Jhaey, sebuah permintaan terakhirnya yang hingga hari ini belum Jhaey lakukan, tulis Jhaey seperti satu tokoh perempuan dalam karya Murakami. Maka inilah penyesalan ketiga Jhaey, penyesalan terakhir Jhaey terhadap Amanda, malam itu seharusnya Jhae tidak pergi dari tempat kost Amanda.
Setelah malam itu, Amanda pergi begitu saja, pergi untuk kedua kalinya. Jhaey tidak pernah bertemu lagi dengannya, baik di kelas maupun di lingkungan kampus, bahkan ia tidak lagi berada di kosnya. Nomor ponselnya tidak lagi aktif. Kuliahnya pun ditinggalkan begitu saja. Jhaey cuma tahu satu-dua rumor yang beredar tentang kepergiannya, rumor yang membuat dada dan hatinya sakit.
Dari penampilannya, hal yang paling mencolok adalah bentuk hidungnya yang mungil seperti jambu air. Rambutnya agak bondol diatas pundak dengan poni terbelah, kulitnya berwana putih pucat, sedangkan tubuhnya bisa dibilang kurus. Ia biasa mengenakan baju dengan lengan tanggung berwarna cerah dan celana jeans ketat.
Hal lain yang bisa Jhaey ingat adalah senyumnya Jhaey pernah mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Awalnya Jhaey tak tahu dari mana perumpamaan ia dapatkan. Hingga pada satu waktu setelah Jhaey dan Amanda berpisah, ia mengingat metafora itu Jhaey dapatkan dari lirik lagu Guns Roses, November Rain. Singkatnya, Amanda mungkin bukanlah tipe perempuan yang membuat seseorang jatuh hati pada pandangan pertama.
Minuman kalengan dingin Jhaey tenggak lagi. Cuma ia sendiri di teras minimarket. Beginilah malam yang suntuk ia lewatkan sambil memutar-mutar memori tentang Amanda. Sewaktu kuliah, Amanda dan Jhaey beberapa kali berada di kelas yang sama. Bisa dibilang, ia memiliki hubungan yang agak rumit dengannya. Pertemuan pertama kami adalah saat masa orientasi kampus. Jhaey berpapasan dengannya di lorong sebuah gedung selepas kegiatan orientasi selesai. Kami sama-sama canggung untuk saling menyapa, hingga kami cuma berdiam diri pada beberapa detik. Begitulah, Amanda menjadi seseorang yang mengisi pikiran Jhaey selama masa-masa kuliah, bukan karena penampilannya, tetapi karena momen saat kami pertama kali bertemu.
Kembali kepada Amanda, ia mengambil jurusan yang sama dengan Jhaey. Pada semester awal, Jhaey mengobrol dengannya sebatas keperluan perkuliahan. Jhaey kira Amanda telah melupakan pertemuan pertama kami. Barangkali memang pertemuan itu bukanlah hal yang spesial, hal yang pantas untuk diromantisasikan.
Kedekatan kami bermula pada suatu sore, saat aku mendapatinya sedang membaca buku di sekitar area parkir, di bawah lampu penerang. Sore itu kampus sudah sepi, Jhaey menghampiri Amanda yang sedang menunduk pada bukunya. Amanda menyadari kehadiran Jhaey. Setelah negosiasi misterius, ia mengerti kehendak Jhaey dan mengizinkan untuk duduk di sebelahnya dengan anggukan pelan kepada Jhaey. Singkatnya, diawali oleh kejadian itu, akhirnya kami sering menghabiskan waktu pada hari-hari setelahnya.
Belakangan Amanda mengatakan kepada Jhaey bahwa ia senang ditemani saat ia membaca buku, karena yang Jhaey lakukan hanyalah merokok dan sesekali memutar lagu dari ponsel dengan volume rendah. Bahkan kadang Jhaey hanya merokok sambil mendengar suara keletak dari puntung rokoknya.
Amanda adalah seorang pembaca yang rakus, meskipun di kelas maupun di klub sastra kampus Amanda jarang sekali berbicara. Ia membaca karena ia suka, itulah yang Jhaey simpulkan setelah lebih jauh mengenalnya. Dari Amanda, Jhaey mendapatkan banyak referensi bacaan. Dari banyak bacaannya, Amanda menggemari karya-karya penulis Jepang seperti Akutagawa, Kawabata, Natsume Soseki, dan penulis yang paling disukainya adalah Haruki Murakami. Karena Amanda, Jhaey ikut gandrung dengan karya dari penulis-penulis Jepang. Meskipun Amanda senang membaca buku, ia tidak berminat untuk menjadi seorang penulis, setidaknya itu anggapan Jhaey, sebab ia hampir tidak pernah membaca buku karya dari Amanda.
“Aku enggak suka Beatles, itu lagu Beatles kan?” Satu waktu Amanda berkata sambil menutup bukunya, saat itu ia mendapati Jhaey sedang memutar lagu If I Fell dari ponsel.
“Mereka kayak sekumpulan cowok tengil norak, apalagi dengan kostum-kostum yang tak kalah noraknya.”
Jhaey cuma tertawa ringan mendengar perkataannya. Memang ada benarnya apa yang dikatakan Amanda. Di sekitaran area parkir ini, Jhaey mengenal Amanda yang banyak berbicara, tidak seperti Amanda di dalam kelas atau di klub sastra.
“Aku tahu banyak tentang Beatles dari karya-karya Murakami,”... Lanjut Amanda. “Terakhir aku baca cerpen With The Beatles, itu dari album mereka kan? Protagonisnya bilang, ia mendengar Beatles cuma sebagai latar, karena waktu itu hampir semua radio memutarnya. Kamu sendiri kenapa suka Beatles?”
Jhaey lupa persisnya untuk menjawab dari pertanyaan Amanda itu. Jhaey mendengar The Beatles karen ia cuma suka mendengarkan musik. Semasa SMA Jhaey pernah membentuk grup band. Di band itu Jhaey berperan sebagai gitaris dan vokalis sekaligus. Kami sering memainkan lagu-lagu The Beatles yang chord-nya mudah. Saat masuk ke jenjang kampus, Jhaey harus meninggalkan mimpi untuk menjadi seorang pemain band. Pada akhirnya, mimpi itu berganti untuk menjadi seorang penulis. Kedua mimpi itu sama kekanakannya. Sebab kini Jhaey menyadari bahwa dirinya hanya akan menjadi seorang blogger dan penulis dadakan.
Kebiasaan duduk di area parkir itu berlangsung barangkali selama beberapa bulan. Amanda menunduk sambil membaca buku, sedang Jhaey mendengar lagu dan bunyi keletak rokoknya, setelahnya kami mengobrol sambil meminum sari buah dingin yang kadang sengaja kubelikan untuknya. Kami berbicara tentang Lennon yang menjadi personel favoritku, Yoko yang dihujat karena dianggap menghancurkan Beatles, Murakami yang menulis tanpa kerangka cerita, dan hal-hal sepele lain seperti gosip yang beredar di kelas dan di klub sastra. Kadang Jhaey juga memberikan cerpennya dan meminta saran kepada Amanda.
Dalam kisaran waktu yang cuma beberapa bulan itu, Jhaey dan Amanda sering menghabiskan waktu berdua, termasuk saat kami berada di kelas. Teman-teman lain mengira kami memiliki hubungan spesial. Jhaey tak memusingkan anggapan mereka, sebab ia menyadari bahwa dirinya semakin menyukainya.
Hingga pada satu malam, Jhaey tak bisa menahan diri untuk menciumnya saat Amanda belum sempat membuka buku di genggamannya. Area parkir kala itu sepi. Jhaey merasa bahwa Amanda tidak menolak ciumannya. Jhaey tidak ingat persis kejadian setelahnya, atau tepatnya ia tidak ingin mengingat kejadian setelahnya. Apa yang Jhaey ingat adalah malam itu dirinya dipenuhi rasa sesal.
Setelah malam itu, pertemuan di area parkir itu berakhir sudah. Amanda seakan berusaha menghindar dari Jhaey, meski kami berada di kelas yang sama. Tinggallah Jhaey dengan rasa bersalah yang menyakitkan. Pada masa pertengahan perkuliahan, Jhaey coba mengalihkan pikirannya dengan banyak membaca buku dan menulis. Hingga satu cerpennya akhirnya menembus satu koran nasional. Begitulah mimpi kekanakannya untuk menjadi seorang penulis pemula. Jhaey akhirnya tidak lagi berusaha untuk mendekati Amanda. Ia memiliki dunianya sendiri, dan Amanda tidak ada di dalamnya.
Pertemuan terakhir Jhaey dengan Amanda berada pada satu malam pada akhir masa kuliah. Jhaey menerima sebuah pesan singkat dari Amanda, ia meminta Jhaey untuk pergi ke area parkir saat itu juga. Di sana, Jhaey mendapati Amanda tanpa buku bacaan seperti dahulu, ia cuma menyediakan dua buah kopi kalengan dingin.
Pada malam itu Amanda mengenakan terusan panjang, tidak seperti biasanya... Amanda tersenyum melihat Jhaey, tapi senyuman itu terasa tidak cocok dengan raut wajahnya. Beberapa menit berlalu tanpa percakapan. Penyesalan kedua Jhaey adalah karena tidak mengucapkan maaf pada pertemuan itu, barangkali rasa bersalah yang begitu kuat menahannya untuk mengucapkan itu. Saat Jhaey hendak mengambil sebatang rokok dari saku celana, Amanda memeluknya. Jhaey merasakan lelehan air mata yang hangat pada pundaknya. Jhaey tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Selang beberapa menit saat tangisan pertamanya pecah, Amanda menatap Jhaey dengan senyum yang sama, senyum yang tidak cocok dengan raut wajahnya. Saat itu, Jhaey mengatakan kepadanya bahwa senyumnya itu seperti angin. Ia tertawa pelan mendengar kalimat pertama yang Jhaey ucapkan... Jhaey tidak ingin memaksanya untuk menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Amanda mengusap sisa air di sekitaran mata dengan punggung tangan. Akhirnya ia mulai berbicara, tapi Jhaey sama sekali tidak menangkap apa yang dibicarakannya. Awalnya terdengar suara yang serak dan terpatah-patah, tetapi semakin lama suaranya semakin jelas dan lancar. Ia berbicara tentang banyak hal, meski separuh kata-katanya terdengar seperti tanpa arti, dan Amanda tak memberikan Jhaey kesempatan untuk menanggapinya.
Ia sempat memberikan ucapan selamat kepada Jhaey, atas cerpen-cerpennya yang dimuat di koran nasional. Amanda bilang bahwa ia membaca seluruh cerpen yang telah Jhaey terbitkan dan ia menyukainya. Jhaey yakin, ia menyadari bahwa cerpen yang ia tulis itu mirip dengan karya-karya Murakami. Pada satu kesempatan lain, Amanda mengatakan bahwa sebenarnya ia mencintai Jhaey, kalimat itu terdengar pelan tapi Jhaey bisa mendengarnya dengan jelas. Monolognya berhenti saat titik-titik hujan mulai turun.
Jhaey menyetujui untuk segera pergi ke kostnya Amanda sebelum hujan menjadi deras. Baru kali itu Jhaey masuk ke kamar kost Amanda, ia langsung merebah dengan posisi menyamping di atas kasur. Sedang Jhaey merebah di sampingnya. Kami saling bertukar tatap. Amanda kembali berkata kepada Jhaey untuk yang kedua kalinya bahwa ia mencintainya, dan memohon kepada Jhaey agar tidak meninggalkannya. Pada beberapa menit kemudian Jhaey sadar bahwa ia mulai terlelap.
Jhaey bisa mengingat suara dengkurnya yang lembut, kantung matanya yang sembab, dan posisi tidurnya yang meringkuk. Gerimis telah berhenti, dan Jhaey pikir tidak seharusnya ia bermalam di kamarnya. Saat itu Jhaey mencoba menahan keinginan untuk mencium bibirnya lagi, sebab Jhaey masih mengingat rasa bersalah atas ciuman pertamanya dengannya. Akhirnya Jhaey memutuskan untuk menulis sebuah pesan pamit di sebuah kertas. Kertas itu kuselipkan di sebuah buku yang berada di samping kasurnya.
Amanda terbangun dan bertanya ke mana saat mendapatiku membuka pintu. Jhaey menjelaskan bahwa ia harus pamit karena satu-dua alasan. Malam itu, Amanda tidak mencegah Jhaey untuk pulang. Saat Jhaey sedang mengenakan sepatu, ia sempat berkata kepada Jhaey, sebuah permintaan terakhirnya yang hingga hari ini belum Jhaey lakukan, tulis Jhaey seperti satu tokoh perempuan dalam karya Murakami. Maka inilah penyesalan ketiga Jhaey, penyesalan terakhir Jhaey terhadap Amanda, malam itu seharusnya Jhae tidak pergi dari tempat kost Amanda.
Setelah malam itu, Amanda pergi begitu saja, pergi untuk kedua kalinya. Jhaey tidak pernah bertemu lagi dengannya, baik di kelas maupun di lingkungan kampus, bahkan ia tidak lagi berada di kosnya. Nomor ponselnya tidak lagi aktif. Kuliahnya pun ditinggalkan begitu saja. Jhaey cuma tahu satu-dua rumor yang beredar tentang kepergiannya, rumor yang membuat dada dan hatinya sakit.

2 Komentar
Andai saja saat Jhaey sedang memasang sepatu itu Amanda mencegahnya dan memeluknya dari belakang seraya berkata, "Mas aku milikmu spenuhnya!" Mungkin Jhaey akan menginap malam itu disana.. tapi sepertinya itu tdk akan terjadi karena dua2nya sama2 pendiam, 🤣
BalasHapusBtw itu cewe yg ada di gambar namanya Amanda kah huu 😅😅
rumornya apa ini kok menggantung, kayaknya sedih banget ini
BalasHapus